"CICAKPHOBIA"
Bab 1 – Keramat
Musik upbeat mengalun keras dari speaker laptopku, menemaniku menatap
gambar-gambar acak yang aku tempelkan di setiap sudut dinding kamar, tepatnya
di depan meja kayu tempatku meletakan televisi. Aku menempelkannya secara acak,
dengan sebuah gambar utama berupa foto close
up wajah seorang gadis yang dikelilingi oleh kupu-kupu berwarna coklat
muda. Salah satu mata gadis itu menatap tajam pada siapapun yang memandangnya,
sejenak seperti tengah menatap foto hidup, keramat. Sebelah matanya lagi
tertutup helaian rambut yang tergerai lembut. Bibirnya penuh, seksi. Pipi dan
hidungnya memiliki bintik-bintik samar di balik warna pink merona blush on yang
dikenakannya. Begitu natural dan tegas. Sosok yang selalu ingin ku hidupkan
dari dalam jiwaku yang terdalam.
Di sekelilingnya terdapat
foto-foto yang lebih kecil, kebanyakan gambar-gambar yang ku download dari mana pun, kata-kata
penyemangat, dan sekedar gambar berwarna warni yang menurutku unik. Jauh di
penghujung ‘pameran’ gambar itu, aku juga menempelkan foto riwayat hidupku
bersama beberapa orang yang pernah menghiasi hari-hariku.
Yang pertama, foto komunitas
sosial yang kuikuti sejak satu tahun yang lalu. 8 gadis dengan rentan usia
sekitar 19-24 tahunan, mengenakan seragam hitam model penguin dress, dengan
syal warna-warni sebagai aksen hidup, tersenyum ramah-lelah, setelah acara fashion show untuk penggalangan dana
yang diadakan di sebuah Mall besar. 8 pasang mata itu menatap lurus sang
kameramen dengan pandangan indah, tergambar jelas bagaimana bahagianya mereka
atas kesuksesan acara hari itu, dan aku bersyukur, aku menjadi salah satu di
antara mereka.
Foto lain, adalah foto
masa-masa KKNku, masih tahun kemarin juga. Foto yang diambil di malam penutupan
dan perpisahan kami pada warga kampung pedalaman Curug Agung, kabupaten Baros.
Kami berdiri berjajar di panggung yang sempit, sedikit berdesakan dengan para ketua
RT yang ikut berpose bersama kami, saling menggandeng dengan senyuman
bangga-lelah di wajah kami. Jas almamater yang membungkus tubuh kami menjadi
saksi bisu ketuntasan tugas kami sebagai mahasiswa tingkat akhir, sebelum
menyusun tugas ‘keramat’ lainnya, yaitu skripsi.
Segores senyuman samar akan
terbentuk acap kali aku menatap foto itu, mengenang berbagai kejadian yang
kulalui selama kurang lebih 40 hari di sana. Dari kemelut permasalahan desa
yang terbelakang, konflik antara anggota KKN, sampai kisah miris cinta
lokasi-bertepuk sebelah tangan-yang ku alami.
Foto terakhir yang tertempel
di sana, paling besar, dan paling ujung, adalah fotoku dengan kedua sahabatku.
Diambil pada masa-masa akhir kuliah, meski aku sendiri sudah lupa kapan
tepatnya foto itu diambil. Mata kami terbuka, ceria dan tanpa beban dengan
senyuman mengembang lebar.
Aku merindukan mereka.
Kedipan di layar ponsel
pintarku mengaburkan seluruh lamunanku. Aku mengintipnya sekilas, tidak berniat
buru-buru membukanya. Seperti biasa, sikap cuekku sudah terlalu mendominasi
kali ini. Ketika mendengar suara ping berkali-kali barulah aku mengambil
ponselku. Siapapun dia, pastilah ini cukup penting karena aku sudah berkali-kali
mengatakan tidak menyukai dengan nada ping pada applikasi bbm, dan melarang
siapapun untuk melakukan itu kepadaku, kecuali sangat teramat-penting.
Pesan dari Maia, salah satu
teman yang berpose bersamaku di foto terakhir yang tertempel di dinding itu.
Kini ia menjadi rekan bisnis fashion
online ku, setelah kami berdua mulai putus asa mencari pekerjaan sejak kami
menyandang gelar sarjana hingga hari ini. Sebenarnya kami menyebut ini sebagai
bisnis selingan sampai menemukan pekerjaan yang pas untuk kami berdua. Kami
sama-sama menyukai dunia fashion,
meskipun aku tidak se-fashionable
Maia, tapi aku menyukai dunia desain. Sedangkan dia, jangankan mendesain,
menulis saja sudah selalu menuai ejekan. Meski cantik, tapi Maia memiliki
tulisan tangan yang luar biasa berantakan. Aku suka mengejeknya tidak lulus SD,
dan ia akan langsung mencibir kesal sambil mencubit lenganku.
Dari enam gadis yang
bersahabat denganku di kursi kuliah, dua di antaranya sudah bekerja di salah
satu pabrik pakaian sebagai staff, satu sudah menikah sejak kami semester 6,
dan sudah memiliki seorang putri tahun kemarin, yang diberi nama Kafka, yang
biasa ku panggil Kampak, Kapan, dan terkadang Kafan. Hahaha. Satu lagi, seorang
gadis pantai yang cantik nun sensual, kini masih bersikukuh dengan tugas
skripsinya yang sempat ia tunda karena sibuk pacaran. Yep, dia salah satu
sahabatku yang terdekat. Kami banyak memiliki kesamaan dalam hal-hal jelek,
tapi setidaknya dia jauh lebih cantik dari aku, yang membuat urusan cintanya
selalu mulusss seperti jalan tol. Setiap minggu ada saja cowok yang
mentraktirnya nonton atau sekedar makan siang. Yang dua terakhir, aku dan Maia,
adalah sarjana yang paling lama mengecam jabatan pengangguran, kurang lebih
selama tiga bulan, hingga akhirnya memutuskan untuk melakukan bisnis ini.
Mungkin karena terlalu lama
membalas pesannya, akhirnya Maia malah langsung meneleponku.
“Molor yah lo?” tanyanya
tanpa basa-basi.
Aku menguap, menatap cangkir
kopiku dengan nanar. “enggak,” jawabku sekenanya. “Abis ngelamun aja,” tambahku
lebih asal lagi.
Dia mendengus, “Dasar.”
Katanya, tidak terdengar nada marah sama sekali. Santai dan seloww… moto hidup
yang selalu ku acungi jempol pada gadis fotogenik ini. “Kemaren si Wawan
nelpon, dia mau ngadain sesi pemotretan prawedding, minta kita yang datang.”
“Wih, tuh bocah mau merit?”
tanyaku, tertarik pada gossip yang dibawanya.
“Kakaknya, mbak Ayu,” ujar
Maia.
Aku menyandarkan kembali
punggungku pada sandaran kursiku, tidak terlalu antusias lagi. “Gimana, mau
nggak?” tanyanya lagi.
Sebenarnya aku masih
memiliki banyak desain yang harus ku kerjakan. Tapi aku akan merasa sangat tidak
enak jika menolak permintaan itu.
“Oke. Lo sesuain aja
jadwalnya si Marwan sama kita. Kalau udah fix, kabarin gue.” Jawabku.
Seenaknya mengganti nama
Wawan. Maia berdehem pelan, lalu menanyakan beberapa desain, nah lihat kan? aku
banyak pekerjaan!
Selain desain, aku juga
menyukai dunia photography, dan
beberapa orang memang mengakui keapikanku dalam mengambil foto-foto. Bahkan
mereka mengatakan, foto sandal jepit-pun akan berubah menjadi penuh makna jika
aku yang mengambilnya. Haha… itu hanya membuat kepalaku semakin membesar.
Maia sendiri sangat piawai
dalam memoleskan kosmetik. Ia bahkan memiliki sertifikat make up dari salah satu brand make
up ternama di Indonesia. Ia sering mengikuti make up clinic yang diadakan di berbagai tempat. Jadilah tidak
perlu diragukan lagi keahliannya dalam memoles wajah dengan perlengkapan
saktinya. Bahkan kambingpun akan cantik mempesona kalau di tangani oleh tangan
dinginnya. Itulah gurauanku yang sebenarnya bermaksud memuji tapi terlalu
gengsi. Hahaha
“Oya kemaren gue ketemu sama
mba Hana, kepala toko Alea Hijab.”
“Yang mana itu?” tanyaku
sungguh-sungguh.
Untuk urusan orang, nama,
tempat, dan angka aku memang memiliki sedikit masalah dalam mengingat. Jadi
biasanya aku butuhkan usaha lebih untuk sekedar mengingat seseorang dalam
benakku.
Maia mendesah lelah, bosan
dengan ke-pikunanku.
“Itu, mba Hana yang kemarin
datang di acara gathering bulanan di Mall Serang.” Tuturnya, sedikit mendesakku
untuk segera mengingat. Ya mana ku ingat! Aku terbiasa tertawa ramah pada
siapapun, tanpa menanyakan nama mereka. lagi pula kami jarang menggunakan name tag di acara-acara seperti itu.
“Yang pakai dress magenta, long cardy
rajut,”
Nah itu baru aku ingat. Tapi
aku tetap tidak ingat wajahnya, aku hanya ingat warna pakaiannya. “Tokonya yang
mana?” tanyaku lagi, sedikit ragu dan takut.
“Astaga lo tuh yah. Tokonya
yang di samping hotel Ledian!” ujar Maia setengah berteriak.
Bibirku membulat membentuk
huruf O tanpa suara. Aku pernah kesana sekali, melihat-lihat koleksi dressnya
yang memiliki harga lumayan. Lumayan mahal! aku gadis sederhana, bukan penyuka
barang murahan, tapi pencinta barang murah. Barang indah tapi harus membuatku
merogoh kocek terlalu dalam tidak akan ku masukan dalam ‘list must buy’, otak pengrajinku akan memilih untuk menyimpan
detailnya di dalam otakku, lalu membuat sendiri benda itu.
“Dia suka sama desain baju
yang gue ajuin, dan mau bekerja sama.” tambahnya.
“Baik banget,” gumamku, ragu
namun tidak terlalu peduli. “Pasti ada term
and conditionnya kan?”
“Yah namanya juga bisnis,”
kata Maia sok. Aku mencibir.
“Atur aja lah…” selorohku
sambil menenggak kopiku lagi.
“Jangan lupa desain yang gue
pinta kemarin! Harus udah jadi hari rabu.”
“Kampret! Sekarang hari
selasa men!!” keluhku kesal. Kadang gadis ini memang suka seenak jidatnya saja
kalau bicara. Membuat simple semua permasalahan!
“Ya elah, paling berapa jam
sih bikin desain satu doang,” bujuknya. “Lagian lo udah ngerti kan poin-poin
yang gue jelasin kemaren?”
Aku bergumam pelan. Kalau
saja Maia memiliki tangan yang lebih kooperatif, mungkin aku tidak akan
mendapatkan kesempatan sebagai penerjemah ide-ide fashion yang menumpuk di kepalanya. Ah, Tuhan memang Maha adil.
“Iye bosss…” ujarku malas.
Lalu setelah berbasa-basi ini itu, akhirnya dia menutup teleponnya. Membuatku
kembali pada duniaku. Dengan malas akhirnya melanjutkan desain hitam putih yang
masih terpampang di layar wacom tablet milikku.
Created by Chary Ashlinee |Sheet 1