Jumat, 28 Maret 2014

CICAKOPHOBIA "part "

“CICAKOPHOBIA”



PROLOG - Coffee and Apple

Berbicara tentang pagi, aku duduk di beranda, menyesap kopi, menatap bocah-bocah berseragam merah putih yang berjalan beriringan membuat pagar di sepanjang jalan. Jika sedang sewot, aku akan meneriaki mereka,
“Woy, emang jalan nenek moyang kalian.” Tapi itu jarang sekali terjadi.
Toh aku juga jarang keluar rumah.

Motor berlalu lalang, hanya ada satu dua mobil yang lewat, lalu selusin kerbau yang beranjak menuju surga mereka, lapangan berumput tinggi di samping area persawahan. Rumahku sebenarnya cukup strategis, dari tempatku duduk termangu, aku bisa melihat hiruk pikuk nya orang- orang di pagi hari, ada yang mengejar ilmu - terlepas dari kenyataan mereka dipaksa sekolah-, ada yang mengejar pundi-pundi uang, dan jika lebih siang sedikit, aku bisa mendapati ibu-ibu yang berjalan beriringan, dengan gamis-gamis cantik mereka, menuju majelis terdekat, menuntut ilmu, diluar rumpian dan segala tetek bengeknya wanita.

Aku kembali menyesap kopi, bukan seperti pengusaha besar yang tengah tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Lagi pula, apa yang kumiliki untuk membuatku secongkak itu. Aku hanya menyesap kopi, karena hanya itu yang bisa ku lakukan saat ini, selain menggerogoti sebuah apel yang tinggal setengah. Sarapan pagi, aku menyebutnya.

Bocah itu lewat dengan seragam yang lain dari teman-temannya. Tingginya mungkin sekitar 120 cm, kulitnya hitam, tidak terlalu pekat seperti negro, tapi lebih kelam, jika kau mengerti apa yang ku maksud. Rambutnya berdiri tegak, hampir sama kelingnya seperti kulitnya. Ia mengenakan celana merah darah, sama seperti teman-temannya yang lain, tapi bajunya tidak berwarna putih, melainkan kuning, karena terlalu sering dicuci tanpa sabun.
Bocah itu menggenggam erat tali yang tergantung di bahunya, tas punggungnya yang tidak terlalu besar. Wajahnya datar, entah, tak terbaca. Tapi aku suka langkahnya yang tegap, berjalan dengan santai namun mantap. Setahuku dia sering diolok, karena kulit kelingnya? Ya, itu salah satunya, dan sikapnya yang mereka bilang terlalu…. Ah aku tidak memiliki kata yang pas untuk menggambarkannya. Tapi bagiku, itu adalah salah satu keunikan yang dimilikinya. Membuat kau merasa senang melakukan kebaikan kecil yang terkadang menurutmu sangat tidak berarti.

Ketika anak-anak kecil yang lain terlalu gengsi untuk menerima pemberian orang dewasa, entah karena ibu mereka di rumah sudah mewanti-wanti untuk tidak segampangan itu menerima apa yang diberikan orang karena memalukan atau apapun alasan yang menurut mereka relevan, tapi bocah itu tidak. Dia akan tersenyum, memamerkan giginya yang putih, sebenarnya tidak terlalu putih, tapi kulit kelingnya membuat gigi itu seakan bersinar. Haha.... Ia akan menerima yang kau berikan dengan anggukan mantap.
Seperti hari ini, ketika aku meneriakinya dari tempatku duduk termangu di beranda lantai atas. Ia menghentikan langkahnya, lalu melihat ke atas, ke tempatku berdiri. Aku melesat berlari ke bawah, menyelinap melewati dapur, dan muncul di pintu depan.
“Mau apel?” tanyaku.
Ia diam, si keling dengan mata bulat besar itu menatapku. Tidak menjawab, namun mendekat untuk mengambil apel di tanganku. Oke mungkin itu sebuah jawaban, hanya tidak terurai dari bibirnya yang juga keling.
“Makasih mba!” ujarnya, nadanya terdengar tegas. Aku menyukainya. Kelak, kalau dia menjadi polisi, dia pasti akan menjadi aparat yang tegas dan baik. Yah.. kurasa begitu.
Lalu aku berbalik, membiarkan ia pergi dengan kegirangannya sendiri. Apel itu ia genggam sampai ke tikungan, lalu di sana aku bisa melihat ia diam-diam mulai menggigit apel itu.

 Aku tersenyum simpul, duduk kembali menghadapi kopi dan apelku yang tinggal setengah. Masih galau karena semalam, tapi setidaknya, aku tahu Allah tidak pernah berhenti memberikan jalan, selama kita terus berdoa dan berusaha. Yah… seperti itu lah. J



Cherri Ashlyn

Senin, 17 Maret 2014

Refleksi dalam lakon Bima Suci

Kedewasan adalah sesuatu yang dihasilkan dari dialog antara benar & salah dalam diri manusia. Ketika sesuatu itu dikatakan benar, maka sesuatu itu belum tentu benar. Begitu juga sebaliknya, ketika sesuatu diakatakan salah, belum tentu sesuatu itu salah selamanya. Klain benar dan salah adalah hasil dialog antar keduanya. Sesuatu yang telah dikatakan benar, kemungkinan akan menjadi salah dikemudian hari. Demikian juga apabila sesuatu itu dikatakan salah, kemungkinan akan menjadi benar dilain waktu. Hasil dari dialog tersebut akan tercermin dalam kemampuan manusia dalam pengendalian dirinya. Banyak diantara kita yang secara membabi buata mengklaim bahwa sesuatu itu benar atau sebaliknya. Tetapi ketika ia berada dalam keadaan tertentu, ia akan membuat klaim yang berlawanan dari semula. Itulah sebabnya, kita tidak perlu secara membabi buta mengatakan bahwa diri kita adalah benar, yaitu dengan mengatakan orang lain salah, berdosa, atau istilah apapun itu. 

Jumat, 07 Maret 2014

Janji Dan Harapan

Ketika  janji manusia sempat membuatku terbuai, aku merasa senang, sesaat aku melupakan segalanya. namun saat janji itu tidak terealisasi aku merasakan kekecewaan yang sangat dalam, disini aku belajar tidak berharap kepada manusia, namun aku harus berharap penuh kepada Ia yang memberikanku pengampunan seutuhnya yang tidak memandang siapa aku dan masa laluku. Berharap kepadaNya membuatku damai dan tetap menanti yang terbaik dalam pengharapan yang baru.



God is good 

Aku tak boleh kehilangan sukacita oleh karena keadaan yang menimpaku, tapi aku harus tetap melangkah menapaki jalanan yang masih panjang. Sekalipun dunia memandangku rendah oleh karena kesalahan yang pernah kubuat, tapi aku tahu Tuhan melihat kesungguhan hatiku untuk tinggal dalam lingkaranNya. 
Ketika dunia punya banyak alasan untuk merendahkanku dan mengucilkanku, tapi aku tahu Tuhan punya  jauh lebih banyak alasan untuk mengangkatku naik bersamaNya dan Tuhan mengasihiku dengan tulus...


Post by Lister Sitorus