“CICAKOPHOBIA”
PROLOG - Coffee and Apple
Berbicara tentang pagi, aku
duduk di beranda, menyesap kopi, menatap bocah-bocah berseragam merah putih
yang berjalan beriringan membuat pagar di sepanjang jalan. Jika sedang sewot,
aku akan meneriaki mereka,
“Woy, emang jalan nenek
moyang kalian.” Tapi itu jarang sekali terjadi.
Toh aku juga jarang keluar
rumah.
Motor berlalu lalang, hanya
ada satu dua mobil yang lewat, lalu selusin kerbau yang beranjak menuju surga
mereka, lapangan berumput tinggi di samping area persawahan. Rumahku sebenarnya
cukup strategis, dari tempatku duduk termangu, aku bisa melihat hiruk pikuk nya
orang- orang di pagi hari, ada yang mengejar ilmu - terlepas dari kenyataan
mereka dipaksa sekolah-, ada yang mengejar pundi-pundi uang, dan jika lebih
siang sedikit, aku bisa mendapati ibu-ibu yang berjalan beriringan, dengan
gamis-gamis cantik mereka, menuju majelis terdekat, menuntut ilmu, diluar
rumpian dan segala tetek bengeknya wanita.
Aku kembali menyesap kopi,
bukan seperti pengusaha besar yang tengah tersenyum bangga pada dirinya
sendiri. Lagi pula, apa yang kumiliki untuk membuatku secongkak itu. Aku hanya
menyesap kopi, karena hanya itu yang bisa ku lakukan saat ini, selain
menggerogoti sebuah apel yang tinggal setengah. Sarapan pagi, aku menyebutnya.
Bocah itu lewat dengan seragam yang lain dari teman-temannya. Tingginya
mungkin sekitar 120 cm, kulitnya hitam, tidak terlalu pekat seperti negro, tapi
lebih kelam, jika kau mengerti apa yang
ku maksud. Rambutnya berdiri tegak, hampir sama kelingnya seperti kulitnya.
Ia mengenakan celana merah darah, sama seperti teman-temannya yang lain, tapi
bajunya tidak berwarna putih, melainkan kuning, karena terlalu sering dicuci
tanpa sabun.
Bocah itu menggenggam erat
tali yang tergantung di bahunya, tas punggungnya yang tidak terlalu besar.
Wajahnya datar, entah, tak terbaca. Tapi aku suka langkahnya yang tegap, berjalan
dengan santai namun mantap. Setahuku dia sering diolok, karena kulit kelingnya?
Ya, itu salah satunya, dan sikapnya yang mereka bilang terlalu…. Ah aku tidak
memiliki kata yang pas untuk menggambarkannya. Tapi bagiku, itu adalah salah
satu keunikan yang dimilikinya. Membuat kau merasa senang melakukan kebaikan
kecil yang terkadang menurutmu sangat tidak berarti.
Ketika anak-anak kecil yang
lain terlalu gengsi untuk menerima pemberian orang dewasa, entah karena ibu
mereka di rumah sudah mewanti-wanti untuk tidak segampangan itu menerima apa
yang diberikan orang karena memalukan atau apapun alasan yang menurut mereka
relevan, tapi bocah itu tidak. Dia akan tersenyum, memamerkan giginya yang
putih, sebenarnya tidak terlalu putih, tapi kulit kelingnya membuat gigi itu
seakan bersinar. Haha.... Ia akan menerima yang kau berikan dengan anggukan
mantap.
Seperti hari ini, ketika aku
meneriakinya dari tempatku duduk termangu di beranda lantai atas. Ia
menghentikan langkahnya, lalu melihat ke atas, ke tempatku berdiri. Aku melesat
berlari ke bawah, menyelinap melewati dapur, dan muncul di pintu depan.
“Mau apel?” tanyaku.
Ia diam, si keling dengan
mata bulat besar itu menatapku. Tidak menjawab, namun mendekat untuk mengambil
apel di tanganku. Oke mungkin itu sebuah jawaban, hanya tidak terurai dari
bibirnya yang juga keling.
“Makasih mba!” ujarnya,
nadanya terdengar tegas. Aku menyukainya. Kelak, kalau dia menjadi polisi, dia
pasti akan menjadi aparat yang tegas dan baik. Yah.. kurasa begitu.
Lalu aku berbalik,
membiarkan ia pergi dengan kegirangannya sendiri. Apel itu ia genggam sampai ke
tikungan, lalu di sana aku bisa melihat ia diam-diam mulai menggigit apel itu.
Aku tersenyum simpul, duduk kembali menghadapi
kopi dan apelku yang tinggal setengah. Masih galau karena semalam, tapi
setidaknya, aku tahu Allah tidak pernah berhenti memberikan jalan, selama kita
terus berdoa dan berusaha. Yah… seperti itu lah. J
Cherri Ashlyn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar