Jumat, 04 April 2014

CICAKPHOBIA "Part II"

"CICAKPHOBIA"



Bab 1 – Keramat


Musik upbeat mengalun keras dari speaker laptopku, menemaniku menatap gambar-gambar acak yang aku tempelkan di setiap sudut dinding kamar, tepatnya di depan meja kayu tempatku meletakan televisi. Aku menempelkannya secara acak, dengan sebuah gambar utama berupa foto close up wajah seorang gadis yang dikelilingi oleh kupu-kupu berwarna coklat muda. Salah satu mata gadis itu menatap tajam pada siapapun yang memandangnya, sejenak seperti tengah menatap foto hidup, keramat. Sebelah matanya lagi tertutup helaian rambut yang tergerai lembut. Bibirnya penuh, seksi. Pipi dan hidungnya memiliki bintik-bintik samar di balik warna pink merona blush on yang dikenakannya. Begitu natural dan tegas. Sosok yang selalu ingin ku hidupkan dari dalam jiwaku yang terdalam.

Di sekelilingnya terdapat foto-foto yang lebih kecil, kebanyakan gambar-gambar yang ku download dari mana pun, kata-kata penyemangat, dan sekedar gambar berwarna warni yang menurutku unik. Jauh di penghujung ‘pameran’ gambar itu, aku juga menempelkan foto riwayat hidupku bersama beberapa orang yang pernah menghiasi hari-hariku.

Yang pertama, foto komunitas sosial yang kuikuti sejak satu tahun yang lalu. 8 gadis dengan rentan usia sekitar 19-24 tahunan, mengenakan seragam hitam model penguin dress, dengan syal warna-warni sebagai aksen hidup, tersenyum ramah-lelah, setelah acara fashion show untuk penggalangan dana yang diadakan di sebuah Mall besar. 8 pasang mata itu menatap lurus sang kameramen dengan pandangan indah, tergambar jelas bagaimana bahagianya mereka atas kesuksesan acara hari itu, dan aku bersyukur, aku menjadi salah satu di antara mereka.

Foto lain, adalah foto masa-masa KKNku, masih tahun kemarin juga. Foto yang diambil di malam penutupan dan perpisahan kami pada warga kampung pedalaman Curug Agung, kabupaten Baros. Kami berdiri berjajar di panggung yang sempit, sedikit berdesakan dengan para ketua RT yang ikut berpose bersama kami, saling menggandeng dengan senyuman bangga-lelah di wajah kami. Jas almamater yang membungkus tubuh kami menjadi saksi bisu ketuntasan tugas kami sebagai mahasiswa tingkat akhir, sebelum menyusun tugas ‘keramat’ lainnya, yaitu skripsi.

Segores senyuman samar akan terbentuk acap kali aku menatap foto itu, mengenang berbagai kejadian yang kulalui selama kurang lebih 40 hari di sana. Dari kemelut permasalahan desa yang terbelakang, konflik antara anggota KKN, sampai kisah miris cinta lokasi-bertepuk sebelah tangan-yang ku alami.
Foto terakhir yang tertempel di sana, paling besar, dan paling ujung, adalah fotoku dengan kedua sahabatku. Diambil pada masa-masa akhir kuliah, meski aku sendiri sudah lupa kapan tepatnya foto itu diambil. Mata kami terbuka, ceria dan tanpa beban dengan senyuman mengembang lebar.
Aku merindukan mereka.

Kedipan di layar ponsel pintarku mengaburkan seluruh lamunanku. Aku mengintipnya sekilas, tidak berniat buru-buru membukanya. Seperti biasa, sikap cuekku sudah terlalu mendominasi kali ini. Ketika mendengar suara ping berkali-kali barulah aku mengambil ponselku. Siapapun dia, pastilah ini cukup penting karena aku sudah berkali-kali mengatakan tidak menyukai dengan nada ping pada applikasi bbm, dan melarang siapapun untuk melakukan itu kepadaku, kecuali sangat teramat-penting.

Pesan dari Maia, salah satu teman yang berpose bersamaku di foto terakhir yang tertempel di dinding itu. Kini ia menjadi rekan bisnis fashion online ku, setelah kami berdua mulai putus asa mencari pekerjaan sejak kami menyandang gelar sarjana hingga hari ini. Sebenarnya kami menyebut ini sebagai bisnis selingan sampai menemukan pekerjaan yang pas untuk kami berdua. Kami sama-sama menyukai dunia fashion, meskipun aku tidak se-fashionable Maia, tapi aku menyukai dunia desain. Sedangkan dia, jangankan mendesain, menulis saja sudah selalu menuai ejekan. Meski cantik, tapi Maia memiliki tulisan tangan yang luar biasa berantakan. Aku suka mengejeknya tidak lulus SD, dan ia akan langsung mencibir kesal sambil mencubit lenganku.

Dari enam gadis yang bersahabat denganku di kursi kuliah, dua di antaranya sudah bekerja di salah satu pabrik pakaian sebagai staff, satu sudah menikah sejak kami semester 6, dan sudah memiliki seorang putri tahun kemarin, yang diberi nama Kafka, yang biasa ku panggil Kampak, Kapan, dan terkadang Kafan. Hahaha. Satu lagi, seorang gadis pantai yang cantik nun sensual, kini masih bersikukuh dengan tugas skripsinya yang sempat ia tunda karena sibuk pacaran. Yep, dia salah satu sahabatku yang terdekat. Kami banyak memiliki kesamaan dalam hal-hal jelek, tapi setidaknya dia jauh lebih cantik dari aku, yang membuat urusan cintanya selalu mulusss seperti jalan tol. Setiap minggu ada saja cowok yang mentraktirnya nonton atau sekedar makan siang. Yang dua terakhir, aku dan Maia, adalah sarjana yang paling lama mengecam jabatan pengangguran, kurang lebih selama tiga bulan, hingga akhirnya memutuskan untuk melakukan bisnis ini.
Mungkin karena terlalu lama membalas pesannya, akhirnya Maia malah langsung meneleponku.
“Molor yah lo?” tanyanya tanpa basa-basi.
Aku menguap, menatap cangkir kopiku dengan nanar. “enggak,” jawabku sekenanya. “Abis ngelamun aja,” tambahku lebih asal lagi.
Dia mendengus, “Dasar.” Katanya, tidak terdengar nada marah sama sekali. Santai dan seloww… moto hidup yang selalu ku acungi jempol pada gadis fotogenik ini. “Kemaren si Wawan nelpon, dia mau ngadain sesi pemotretan prawedding, minta kita yang datang.”
“Wih, tuh bocah mau merit?” tanyaku, tertarik pada gossip yang dibawanya.
“Kakaknya, mbak Ayu,” ujar Maia.
Aku menyandarkan kembali punggungku pada sandaran kursiku, tidak terlalu antusias lagi. “Gimana, mau nggak?” tanyanya lagi.
Sebenarnya aku masih memiliki banyak desain yang harus ku kerjakan. Tapi aku akan merasa sangat tidak enak jika menolak permintaan itu.  
“Oke. Lo sesuain aja jadwalnya si Marwan sama kita. Kalau udah fix, kabarin gue.” Jawabku.
Seenaknya mengganti nama Wawan. Maia berdehem pelan, lalu menanyakan beberapa desain, nah lihat kan? aku banyak pekerjaan!

Selain desain, aku juga menyukai dunia photography, dan beberapa orang memang mengakui keapikanku dalam mengambil foto-foto. Bahkan mereka mengatakan, foto sandal jepit-pun akan berubah menjadi penuh makna jika aku yang mengambilnya. Haha… itu hanya membuat kepalaku semakin membesar.
Maia sendiri sangat piawai dalam memoleskan kosmetik. Ia bahkan memiliki sertifikat make up dari salah satu brand make up ternama di Indonesia. Ia sering mengikuti make up clinic yang diadakan di berbagai tempat. Jadilah tidak perlu diragukan lagi keahliannya dalam memoles wajah dengan perlengkapan saktinya. Bahkan kambingpun akan cantik mempesona kalau di tangani oleh tangan dinginnya. Itulah gurauanku yang sebenarnya bermaksud memuji tapi terlalu gengsi. Hahaha
“Oya kemaren gue ketemu sama mba Hana, kepala toko Alea Hijab.”
“Yang mana itu?” tanyaku sungguh-sungguh.
Untuk urusan orang, nama, tempat, dan angka aku memang memiliki sedikit masalah dalam mengingat. Jadi biasanya aku butuhkan usaha lebih untuk sekedar mengingat seseorang dalam benakku.
Maia mendesah lelah, bosan dengan ke-pikunanku.
“Itu, mba Hana yang kemarin datang di acara gathering bulanan di Mall Serang.” Tuturnya, sedikit mendesakku untuk segera mengingat. Ya mana ku ingat! Aku terbiasa tertawa ramah pada siapapun, tanpa menanyakan nama mereka. lagi pula kami jarang menggunakan name tag di acara-acara seperti itu. “Yang pakai dress magenta, long cardy rajut,”
Nah itu baru aku ingat. Tapi aku tetap tidak ingat wajahnya, aku hanya ingat warna pakaiannya. “Tokonya yang mana?” tanyaku lagi, sedikit ragu dan takut.
“Astaga lo tuh yah. Tokonya yang di samping hotel Ledian!” ujar Maia setengah berteriak.
Bibirku membulat membentuk huruf O tanpa suara. Aku pernah kesana sekali, melihat-lihat koleksi dressnya yang memiliki harga lumayan. Lumayan mahal! aku gadis sederhana, bukan penyuka barang murahan, tapi pencinta barang murah. Barang indah tapi harus membuatku merogoh kocek terlalu dalam tidak akan ku masukan dalam ‘list must buy’, otak pengrajinku akan memilih untuk menyimpan detailnya di dalam otakku, lalu membuat sendiri benda itu.
“Dia suka sama desain baju yang gue ajuin, dan mau bekerja sama.” tambahnya.
“Baik banget,” gumamku, ragu namun tidak terlalu peduli. “Pasti ada term and conditionnya kan?”
“Yah namanya juga bisnis,” kata Maia sok. Aku mencibir.
“Atur aja lah…” selorohku sambil menenggak kopiku lagi.
“Jangan lupa desain yang gue pinta kemarin! Harus udah jadi hari rabu.”
“Kampret! Sekarang hari selasa men!!” keluhku kesal. Kadang gadis ini memang suka seenak jidatnya saja kalau bicara. Membuat simple semua permasalahan!
“Ya elah, paling berapa jam sih bikin desain satu doang,” bujuknya. “Lagian lo udah ngerti kan poin-poin yang gue jelasin kemaren?”
Aku bergumam pelan. Kalau saja Maia memiliki tangan yang lebih kooperatif, mungkin aku tidak akan mendapatkan kesempatan sebagai penerjemah ide-ide fashion yang menumpuk di kepalanya. Ah, Tuhan memang Maha adil.
“Iye bosss…” ujarku malas. Lalu setelah berbasa-basi ini itu, akhirnya dia menutup teleponnya. Membuatku kembali pada duniaku. Dengan malas akhirnya melanjutkan desain hitam putih yang masih terpampang di layar wacom tablet milikku. 



Created by Chary Ashlinee |Sheet 1

Created by Chary Ashlinee |Sheet 2




Aku menggerakan kepalaku ke kiri dan kanan, lalu mengangkat kedua tanganku ke atas kepala, merenggangkan selebar-lebarnya, pegal. Sudah lebih dari tiga jam aku menunduk, membuat desain-desain pesanan Maia. Meskipun harus ku akui 70 persen waktunya ku gunakan untuk bernyanyi acak mengikuti melodi-melodi yang terdengar dari laptopku. Dua desain long dress ala fashion Korea, dan satu buah desain bracelet manis yang cukup ramai dengan bandul berbagai bentuk. Dipasarkan untuk anak-anak SMA dan kuliahan. Cukup menarik.

Cangkir kopiku sudah kosong, dan sejak tadi sebenarnya aku juga sibuk mengusir cicak yang berlomba-lomba masuk ke dalam cangkir kopiku. Menjijikan!
Sejak kecil aku tidak menyukai mahluk melata-lembek-transparan-menjijikan itu! pernah sekali aku tidak sengaja menyentuhnya, dan aku akan langsung menjerit histeris. Seperti baru melihat hantu atau apapun yang pantas mendapat teriakan sekencang itu. MENJIJIKAN!

Mengingat kejadian itu hanya membuat tubuhku merinding. Eewww...
Cicak sebenarnya terbagi empat. Cicak tembok, cicak kayu, cicak gula dan cicak batu. Sedangkan cicak yang saat ini sedang mengintip malu-malu di balik tv layar datar di mejaku, sambil menatap kearahku dan cangkir kopiku yang sudah tandas secara bergantian itu adalah cicak gula. Gehyra Mutilala, nama yang unik, tapi jelas berbanding tebalik dengan sosok pemilik nama latin itu. Cicak itu bertubuh lebih kecil, dengan kepala membulat dan warna kulit transparan. Hiiyy…. Benar-benar menjijikan!!!!
Binatang keramat-yang tidak boleh disentuh- aku menyebutnya. Phobia ku pada cicak sudah berada di tingkat teratas. Sejak kecil aku memang sudah tidak menyukai binatang melata, lembek, dan transparan itu. Jangankan menyentuhnya, melihat kepalanya sedikit nongol saja di balik meja akan membuat wajahku meringis jijik.
“HUSHH!!!!” aku menggebrak mejaku ketika melihat cicak itu semakin memberanikan diri untuk mendekati cangkir kosong di samping laptopku. Sibuk dengan histeria ketakutanku sendiri. “Kampreeet!! Pergiiiii!!” teriakku. Bertepatan dengan itu, ponselku kembali bergetar. Sebuah nomor baru, namun tidak asing di mataku. Yang berarti pernah tersimpan di phone book ku, lalu dengan sengaja ku hapus.
Cicak yang tampak masih gigih dengan usahanya mendekati cangkir kopiku terdiam sejenak. Mematung, mungkin berpura-pura mati. Dia pikir aku sebodoh itu?!

Aku mendesah, sedikit lelah dan nyinyir, yang langsung ditujukan pada hewan serta penelepon asing itu, sebelum menekan tombol yes di layar ponsel, dan mengatakan halo tanpa semangat. 


Created by Chary Ashlinee 

Tidak ada komentar: